Seperti apa rasanya tinggal di Jerman sebagai ibu rumah tangga yang hobi ngeblog seperti saya? Meskipun saya belum memiliki anak sehingga tidak bisa dibilang emak-emak, saya memiliki pendapat tentang pengalaman tinggal di Jerman.
Bicara soal Jerman, banyak mahasiswa dan pekerja yang terinspirasi dari kisah sukses BJ Habibie dan keluarga yang berhasil meraup sukses di sini.
Tapi, bagaimana rasanya tinggal di Jerman bagi seorang emak-emak?
Daftar Isi
Cuaca
Saya termasuk suka cuaca di Jerman karena variasinya yang luar biasa. Kalau musim panas bisa sampai 35 derajat, dan musim dingin bisa sampai -5 derajat.
Panas di Jerman ini benar-benar seperti di dalam oven karena angin yang berhembus pun panas. Tidak seperti di Indonesia kalau angin berhembus, masih terasa sejuk.
Di musim panas, saya paling malas setrika, masak, dan pergi keluar. Bayangkan saja. Sudah panas, harus menghadapi uap panas setrika dan masakan.
Ketika sedang puncak-puncaknya musim panas, saya lebih sering keluar untuk belanja dalam jumlah besar atau minta tolong suami saja yang belanja. Tingkat mager saya ketika musim panas bisa mencapai 5 kali lipat.
Di musim dingin, saya banyak beraktivitas untuk menjaga suasana hati dan mencari kesibukan, serta menyalakan lampu warna putih agar mood tidak turun.
Sekadar informasi, lampu di Jerman kebanyakan berwarna kuning romantis namun perlahan mulai beralih ke lampu warna putih LED yang lebih hemat energi.
Kebanyakan orang Jerman terkena seasonal affective disorder atau gangguan mood musiman seperti depresi karena jarangnya sinar matahari.
Solusinya, saya dan suami harus sering minum vitamin D dan vitamin dari ekstrak Johannisbeere yang membantu penyerapan tubuh terhadap sinar matahari.
Orang Jerman
Orang Jerman banyak yang ramah dan baik hati kalau sudah kenal. Kalau mereka berkunjung atau bertemu saya ketika di musim-musim siesta seperti natal, tahun baru, atau paskah, mereka akan mengucapkan selamat natal, selamat tahun baru, dan selamat paskah pada hampir setiap orang, bahkan kasir toko.
Saya sering mendapat ucapan selamat natal dan selamat paskah dari orang asing di Jerman. Biasanya hanya saya ucapkan terima kasih.
Kalau orang yang kenal, biasanya saya bilang wir feiern nicht das Weihnachten yang artinya kami tidak merayakan natal.
Makanan Jerman vs Indonesia
Hambar. Palet bumbu orang Jerman tidak banyak. Mentok hanya garam, gula, merica, dan herbs. Kalau ditambah lemon atau jeruk nipis, maka makanan tersebut sudah dianggap lezat.
Suami saya pertama kali makan nasi padang yang bumbunya macam-macam dan terdiri dari berbagai macam lauk dalam satu piring, tidak bisa.
Terlalu banyak bumbu dalam satu piring yang membuat inderanya bingung dan akhirnya eneg.
Namun setelah kami menikah dan saya sering masak masakan Indonesia, beliau mulai bisa makan nasi padang dengan satu lauk dalam satu piring.
Bagi orang Indonesia, biasa saja kalau makan berbagai macam lauk pauk dan sayur dalam satu piring.
Makanan orang Jerman biasanya terdiri dari satu makanan dengan bumbu ringan, lalu sisanya hanya salad dengan garam dan merica, plus kentang hambar.
Ya, orang Jerman biasa makan makanan hambar, lalu dihadapkan dengan nasi padang? Mabuk bumbu!
Makanan Halal di Jerman
Di kota saya tinggal cukup banyak orang muslim dan banyak restoran halal. Tapi, makanan yang disajikan hanya itu-itu saja. Kebab, hamburger turki, falafel, dan kebap lagi, Doener lagi.
Awal kedatangan di Jerman, saya suka sekali jajan. Namun setelah tiga bulan, saya lebih suka masak sendiri karena bisa lebih variasi.
Jalanan Kecil
Salah satu alasan saya dan suami tidak punya mobil karena jalanan di Jerman itu kecil. Yang besar ya hanya autobahn alias jalan tol. Kalau dalam kota, lebih enak kemana-mana pakai Strassenbahn, sepeda, atau jalan kaki.
Jalanan kecil ini karena kota-kota di Jerman sudah ada sejak abad pertengahan dan didesain untuk kereta kuda. Sudah jalanan kecil, kadang pinggirnya masih dipakai untuk parkir mobil.
Sepeda motor hanya bisa dipakai di musim semi dan musim panas. Selain musim-musim itu, sepeda motor dianggap berbahaya untuk digunakan dan rawan menyebabkan kecelakaan.
Hiburan Gratis hingga Berbayar
Jerman banyak hiburan gratis seperti main di taman, nonton teater pemula, hingga festival kecil-kecilan yang diadakan oleh komunitas tertentu.Yang berbayar seperti nonton opera dan teater juga ada. Tapi kami lebih suka menikmati hiburan gratis.
Sebelum corona menyerang, kami termasuk yang aktif kesana-sini untuk mengunjungi pameran, teater, galeri gratisan, atau pertunjukkan seni. Selalu ada saja hiburan gratisan tiap bulan.
Uang Gratis dari Pemerintah?
Obdachlosigkeit alias keberadaan tuna wisma sebenarnya bisa diatasi kalau orang tuna wisma tersebut mau menghubungi pemerintah. Selama mereka datang ke Jerman secara legal, mereka berhak atas uang sosial dan tempat tinggal dari pemerintah.
Tapi tentunya harus mau ikut arahan pemerintah untuk ikut pelatihan kerja, cari kerja, seminar, pokoknya diarahkan sampai bisa hidup sendiri dan ikut berkontribusi.
Uang yang didapat oleh orang-orang yang tidak dapat pekerjaan sekitar 400 Euro per bulan untuk tempat tinggal dan makan. Masih bisa naik turun tergantung jumlah keluarga dan situasi yang dihadapi.
Tiap anak yang lahir sampai usia 18 atau 21 tahun dapat Kindergeld atau uang anak sejumlah 200 Euro per anak tiap bulan. Orang tua juga dapat Elterngeld.
Uang di atas tidak gratis, lho. Uang tersebut berasal dari potongan pajak yang tinggi. Misal gaji kotor di atas kerja 4.000 Euro, gaji bersih yang masuk ke rekening hanya 60% nya saja.
Tidak ada namanya uang gratis. Semua itu uang dari taxpayer. Ya kita-kita semua ini.
Gaji di Jerman Kecil
Kalau dibandingkan dengan negara maju lainnya, gaji di Jerman termasuk kecil. Ini karena potongan pajak dan iuran yang harus dibayarkan oleh setiap pekerja dan penerima gaji di Jerman cukup besar, mencapai 40% dari gaji kotor.
Memang, manfaatnya terasa seperti biaya kesehatan yang jadi terjangkau, sekolah gratis di beberapa negara bagian, hingga uang sosial yang didapat ketika tidak punya pekerjaan.
Transportasi Umum Sampai ke Pelosok
Bahkan di desa-desa di pegunungan saja ada stasiun kereta dan Strassenbahn. Minimal, akan ada bus atau mikrolet yang menghubungkan stasiun utama dengan halte bus desa-desa kecil.
Saya paling suka naik kereta sampai ke wilayah pegunungan karena pemandangannya cantik sekali.Jalur sepeda juga selalu ada di kota-kota besar. Bersepeda aman, nyaman, baru saya rasakan di Jerman ini.
Rasisme di Jerman
Saya muslimah bercadar. Kadang memang mengalami hal tidak mengenakkan, tapi itu hanya sebagian saja. Kebanyakan soal rasisme ini saya terima ketika ada di jalan atau supermarket.
Sebagai ibu rumah tangga, lingkup pergaulan saya pun sesama ibu-ibu pengajian, kawan-kawan Jerman dalam lingkup pergaulan suami, atau teman-teman Indonesia yang kuliah di Jerman.
Pengakuan kawan-kawan muslimah yang bekerja, kadang mereka kesulitan untuk wudhu, sholat, dan kadang ada perusahaan yang tidak membolehkan berjilbab. Tapi itu jumlahnya sudah jauh berkurang di beberapa tahun terakhir ini.
Memang, ada kawan-kawan yang akhirnya memilih melepas hijab demi bisa bekerja, tapi itu ya keputusan mereka.
Tak jarang, ada juga pekerjaan yang sangat ketat dan tidak membolehkan istirahat di luar jam istirahat. Kadang tidak bisa minta ijin 5 menit untuk sholat Ashar atau Maghrib kalau lembur. Hanya bisa sholat ketika jam istirahat.
Atau palingan, bilang mau ke toilet tapi ujung-ujungnya sholat. Hahaha…
Meninggal Sebagai Muslim di Jerman
Masjid sudah banyak tersebar di kota saja. Meskipun tiap kali adzan, mikrofonnya hanya terdengar di dalam masjid saja.Pemakaman di Jerman khusus muslim di kota saya pun sudah ada. Biaya pemakaman mencapai 3.000 Euro atau sekitar 50 juta rupiah.
Biasanya, akan ada sedekah dari umat yang membantu biaya pemakaman.
Letak pemakaman muslim di kota saya memang berada dalam komplek pemakaman umum. Di bagian kanan depan ada pemakaman Yahudi. Di bagian tengah sampai belakang pemakaman Nasrani.
Lalu bagian kanan belakang adalah pemakaman muslim.
Betah Tinggal di Jerman?
Saya dan suami sempat bingung ingin tinggal di mana di masa depan, mengingat kami ingin punya momongan.
Jika dilihat dari sisi sosial dan perkembangan Islam untuk pendidikan karakter anak, Indonesia jelas jauh lebih unggul.
Namun, suami saya kesulitan belajar bahasa Indonesia dan belum bisa menemukan pekerjaan yang bisa dilakukan dari Indonesia, atau mencari pekerjaan di Indonesia.
Demi perkembangan akhlak yang baik, mungkin kami akan relokasi ke Indonesia untuk membesarkan anak-anak.
Tapi saat ini, kami masih mengumpulkan uang untuk modal hidup di Indonesia.
Bukan tidak mungkin kalau suatu hari nanti, kami memutuskan tinggal di Jerman saja karena berbagai pertimbangkan.
Tapi saat ini, saya masih betah tinggal di Jerman.
D iindonesia juga ada BPJS, tapi sangat tidak berasa sekali saat digunakan, alias sama saja, semuanya dipersulit, minyak goreng aja bisa langka wkwkw.